Sabtu, 19 Maret 2016




LOVE PHOBIA

Chapter 7
Penulis : Angga Setiawan
Daratan pantai mulai tak terlihat, memandang kemanapun yang terlihat hanya laut yang luas. Kabut kabut mulai menutupi penglihatanku, sebenarnya aku tidak yakin bisa kembali. Entah kenapa mataku terasa sangat berat dan perlahan kupejamkan mataku.

*

Kepalaku sangat pusing, aku sedikit kesulitan untuk bernafas saatku membukakan mata. “Rifa, kamu sudah sadar? Ini ibu nak” ujar perempuan yang tidak terlalu tua itu. “Ibu? Kepalaku sangat pusing, aku berada dimana” ujarku yang mencoba berbicara. “Sebentar ibu panggilkan dokter dulu” ujarnya.
\
Syukurlah dia sudah sadar dan kondisinya sudah cukup membaik” ujar dokter. Aku yang masih sangat lemas, melihat ibu yang terus menggenggam tanganku. Setelah dokter meninggalkan kami aku bertanya kepada ibu.
Bu sebenarnya apa yang telah terjadi padaku?” tanyaku. “Kamu telah melewati koma selama tiga hari, setelah insiden itu. Maafin ibu ya semua ini adalah salah ibu” jawabnya. “Insiden seperti apa? aku sedikit tak mengingatnya” tanyaku kembali sedikit bingung. “sudah jangan terlalu di pikirkan, yang penting kamu harus pulih dulu nanti ibu akan jelaskan semuanya” jawabnya lagi kali ini sedikit menenangkan.
 
Aku sama sekali tidak mengingat apapun, tapi aku senang saat ini Ibu berada di sampingku entah kenapa aku sangat merindukannya.
*
Malam telah berlalu, cahaya mentari masuk dari jendela hingga menyilaukan mataku. Aku terbangun kali ini tubuhku terasa sangat fit, akupun mencoba untuk duduk terlihat ibu yang sedang tidur di kursi nampak terusik. “Rifa, Kamu sudah bangun?” tanya ibu melihatku terduduk. “Bu ayo kita pulang, aku udah gak betah disini, aku rindu kamarku” jawabku.

Ibupun memenuhi permintaanku, hari ini aku pulang dengan kursi roda. Ibu mendorongku sambil menceritakan insiden 4 hari yang lalu.

Pada saat hari kelulusanmu maaf ibu tidak bisa hadir” ujarnya yang mencoba membuka percakapan. “Tidak apa apa aku sudah melupakannya” jawabku jujur. “Saat ibu sampai di sumatera, ibu mendapat telpon dari pihak Villa di pangadaran bahwa kamu mengalami kecelakaan di pantai, mereka menemukan kamu dengan seorang perempuan pingsan hingga koma seperti ini, lalu ibu langsung meninggalkan pekerjaan ibu dan segera kemari” ujar ibu. Aku sedikit mengingatnya, apakah perempuan yang waktu itu hendak ku selamatkan. “Sama perempuan bu? Lalu apa dia juga selamat?” tanyaku heran. “Ibu kemarin mendapatkan info bahwa dia telah meninggal dunia tepat disaat kamu tersadar dari koma” jawabnya lagi. “Benarkah? Apakah aku boleh melihatnya?” tanyaku kaget sekaligus memohon. “Mari kita kesana, kebetulan keluarganya masih berada di rumah sakit ini” ujar ibu.

Aku dan Ibu menemui keluarganya, aku sungguh penasaran seperti apa wajahnya. Saat kami masuk keruangan itu terlihat foto yang begitu besar, ibu bilang bahwa perempuan di foto itu adalah orangnya.

Aku kaget dan nampak mengenalinya

 “NEMO"

  TAMAT.






LOVE PHOBIA
Chapter 6
Penulis : Angga Setiawan

Aku memeluknya dengan erat, “Baik, maafkan aku karena tidak bisa mengontrol perasaanku” ujarku yang tanpa sadar juga menangis. Nemo nampak lemas di pelukanku, hujanpun mereda aku mencoba membawanya kembali ke tempat itu namun dia menolak dan berhenti melangkah.

Rifa, kamu harus pergi sekarang” ujar Nemo pelan. “ayo kita pergi bersama”ujarku. Kami berjalan mendekati perahu itu. Tiba tiba Nemo berhenti dan menatapku, Nemo menciumku dengan penuh perasaan, aku kaget dengan itu. “Maafkan aku, sepertinya aku ketahuan telah berbohong” ujarnya pelan yang terlihat semakin melemas. “Apa maksudmu?” tanyaku heran. Nemo seperti tidak kuat menopang kedua kakinya, dia terjatuh. Aku mencoba membantunya untuk berdiri, namun dia menolak untuk berdiri. “Maafkan aku, karena juga tak bisa mengontrol perasaan ini” ujarnya pelan. “Nemo, sebenarnya ada apa ini? Apa kamu sakit?” tanyaku heran melihat Nemo yang makin melemas. “Rifa, maafkan aku karena telah jatuh hati padamu” ujar Nemo yang menghiraukan pertanyaanku dan terus meminta maaf. “Kamu kenapa Nemo, tolong beritahu aku yang sebenarnya” tanyaku kembali yang semakin penasaran, tanpa sadar air mata sudah membasahi pipiku. “Ini semua karena aku telah mencintaimu, seharusnya aku tidak boleh melakukannya” ujar Nemo yang mulai menutup mata. “Nemo, apa salahnya jika kau mencintaiku?” ujarku, isak tangispun kurasakan. Tiba tiba Nemo menghilang dari pangkuanku, aku sangat kaget dengan hal itu. Aku lari kesana kemari dan terus meneriaki namanya, ini sungguh tidak adil bagiku namun sekarang aku mulai mengerti, tapi kenapa? Kenapa hal ini terjadi padaku, aku tak henti mencarinya hinggaku aku merasa putus asa.

Nemo, kau dimana? Tolong jangan pergi dengan cara seperti ini” ujarku yang terus menangis. “Kenapa kau membuatku jatuh cinta, kalau pada akhirnya kau akan pergi, tolong jangan pergi aku mohon” teriakku.

Seperti ada yang memelukku dari belakang, “Aku disini, memangnya kemana aku akan pergi,  aku akan tetap disampingmu, karena aku sangat mencintaimu” ujarnya sambil menangis. “Nemo..” ujarku membalikan badan kepadanya lalu memeluknya. “Aku juga sangat mencintaimu, tolong.. tolong tetaplah bersamaku” ujarku mengeratkan pelukan.
 
Aku masih merasakan pelukan Nemo, tapi entah kenapa Nemo tidak terlihat oleh mataku. Aku masih bisa mendengar suaranya namun Nemo hilang dari pandanganku, aku hanya bisa berpura pura tidak merasakan hal aneh dan terus berbicara dengannya.

Lalu apa yang harus aku lakukan, jikalau aku tau akan seperti ini aku tidak akan pernah menjatuhkan perasaanku, aku menyesal karena telah jatuh cinta padamu dan membuatmu merasakan hal yang sama, tolong jangan seperti ini, ini sangat tidak adil bagiku” ujarku.
Rifa, kau harus pergi sekarang, benar kau harus melakukannya, maafkan aku karena terus membohongimu” ujarnya pelan. Nemo menciumku namun aku tidak bisa melihatnya, sungguh ini sangat menyiksaku. Tak lama kemudian aku tak merasakan apapun, “Nemo... Nemo.. kau dimana? Tolong jangan seperti ini kembalilah” teriakku.

Nemo menyadari bahwa Rifa sudah tak bisa melihatnya, padahal dia masih tetap di sampingnya. Melihat Rifa yang terus menangis dan terus memanggil namanya Nemopun lari keperahu itu, disana dia berteriak “Rifaa aku disini, ayok cari aku” teriaknya. 

Aku mendengar suara itu, aku lari dan naik keatas perahu itu. “Nemo, Nemo.. kau dimana, ayolah jangan seperti ini, aku mohon” ujarku yang sudah tak bisa membendung air mata. Tiba tiba nampak seperti ada yang medorong perahu ketengah, aku menyadari bahwa Nemo lah yang melakukannya. Mungkin inilah yang terbaik buat kami berdua, aku tidak menghentikan perlakuannya itu. Aku terduduk dengan memeluk erat lututku.

Rifaa... kau harus kembali, ibumu sangat mengkwatirkamu tolong jangan lupakan aku” teriak Nemo dari tepi pantai. Aku mendengarnya lalu berdiri “Nemoo.....! terimakasih atas semuannya, aku akan mengingatmu....




LOVE PHOBIA
Chapter 5
Penulis Angga Setiawan

Rifa, ayok bangun sudah pagi” Ujar Nemo membangunkan. Aku yang masih terlelap mencoba bangun “Hei, ayok cepat aku sudah siapkan sarapan pagi untuk mu” ujarnya lagi sambil menarik tanganku. “Benarkah?” jawabku heran, sarapan seperti apa yang dia buat. “Ha aha ha, ternyata buah, aku kira apa” jawabku sambil tertawa. “Oke semangat, ayok kita selesaikan perahu itu” ujarku lagi bersemangat.

Suasana pagi ini sangat sejuk, hari ini adalah hari ketiga aku berada di pulau asing, Aku sungguh merindukan suasana yang biasanya kulakukan. Aku sangat optimis bisa pulang dengan perahu yang ku buat bersama Nemo, aku akan mengajaknya untuk tinggal bersamaku dan ibu pasti tidak akan keberatan.

Aku dan Nemo mulai melanjutkan pekerjaan kami, Nemo sangat antusias kali ini dan aku tidak bisa menahannya untuk duduk saja dia memang keras kepala namun entah kenapa aku menyukainya.
 Seharian penuh kulewati, sedikit demi sedikit kumpulan kayu ini terbentuk menjadi sebuah perahu, aku dan Nemo sangat senang karena telah menyelesaikannya, aku percaya perahu ini bisa membawa kami keluar dari pulau ini, aku terus memperhatikan Nemo sepertinya aku benar benar menyukainya.
Nemo menoleh kearahku dengan tersenyum lalu dia mendekatkan kepalanya ketelinga ku “Kerja yang bagus Rifa” bisiknya. Hatiku berdebar begitu kencang hingga aku tidak bisa mengontrolnya, entah setan dari mana tiba tiba aku memeluknya. Nemo terdiam atas perlakuanku itu, aku yakin dia pasti mendengar detak jantungku yang sangat kencang. Aku melepas pelukan itu “Maaf” ujarku yang merasa malu. Nemo tetap terdiam dengan menundukan kepala.

Aku menarik tangannya “Ayok kita cari makanan” ujarku mengalihkan suasana diapun mengikutiku. Aku berencana akan memanjat pohon kelapa mengambil beberapa buahnya untuk menikmati airnya mungkin Nemo akan senang dengan ini. “lihat disana! Aku akan mengambilnya untukmu” ujarku sambil menunjuk buah kelapa yang lumayan tinggi. “lebih baik tidak usah, itu tinggi dan terlalu bahaya” ujar Nemo memerintahku untuk tidak melakukannya.”tidak apa apa, aku akan mengambilkanya untukmu” ujarku sedikit ngeyel. Nemo menatap keatas, belum sempat aku memanjat tiba tiba 2 buah kelapa jatuh dihadapan kami. “wow! Bagaimana bisa?” tanyaku heran. “aku juga tidak tahu, mungkin karena angin lautnya yang sangat kencang, ayok kita nikmati buah itu”ujarnya lalu mengambil 2 buah kelapa itu.

Aku sedikit penasaran, buah kelapa muda tidak akan jatuh hanya karena angin, apa mungkin?.. Ah itu tidak mungkin. “Segarnya” ujar Nemo setelah meminum air kelapa itu, “Enak kan? Sudah aku bilang ini pasti enak sekali  ujarku menghabiskan air itu.

Awan cerah berubah seketika menjadi mendung, titik titik air dari langit mulai berjatuhan aku dan Nemo berteduh di dalam Gubuk. Nemo nampak kedinginan aku membiarkan dia menyandar di pundakku. “Nemo, ayok kita pergi besok” ujarku. Nemo menaikan kepalanya lalu menatapku “Kamu yakin?”tanyanya. jarak wajah kami sangatlah dekat tanpa sadar  kupejamkan mataku dan bibirku mendekat kewajahnya, Nemo terdiam saatku mencium bibirnya. Kulihat matanya terbuka lebar mungkin karena dia kaget dengan apa yang aku lakukan, tiba tiba dia mendorongku dan lari keluar.
Hujan masih sangat lebat dia lari meninggalkanku, akupun berusaha mengejarnya “Nemo! tunggu, maafkan aku” ujarku meraih tangannya dari belakang “Aku benar benar telah mencintaimu” tiba tiba kata itu muncul dari mulutku. Nemo membalikan badan dan menatapku “Tidak, aku tidak bisa. Aku tidak bisa mencintaimu” jawabnya sambil meneteskan air mata “Tapi kenapa? Kamu harus menjelaskannya padaku” ujarku meminta, namun dia tak menjawab dan terus menundukan kepala.
Maafkan aku, aku juga sangat mencintaimu tapi aku tidak boleh mencintai manusia, aku harus mengubur perasaan ini” batin Nemo.




LOVE PHOBIA
Chapter 4
Penulis : Angga Setiawan 

 Nemo, apa kamu bisa mengajariku bagaimana cara membuat api?” tanyaku melihat Nemo di sampingku yang terus memandangi laut. “Oh, tentu saja ayok kita lakukan” Jawabnya mengubah pandangannya kearahku.

Ternyata sulit bagiku untuk melakukannya, terpaksa aku menyuruhnya untuk membuat api unggun karena ada hal yang harus ku lakukan. “Tolong buat apinya ya, ada sesuatu yang harus kulakukan” ujarku kepadanya. “Mau kemana? Inikan sudah hampir malam? Boleh aku ikut?” jawabnya sekaligus meminta. “Tidak perlu, aku tidak akan lama kok Cuma sebentar, yasudah aku pergi dulu ya” Ujarku meninggalkannya. “Iya, Rifa hati hati” Teriaknya. Lagi lagi membuatku tersenyum akan tingkahnya yang menggemaskan.

Aku masuk kedalam hutan, karena saat mencari dedauan untuk Nemo tadi, aku melihat ada beberapa ikan di sekitar sini, aku ingin membawakannya untuk Nemo karena sudah menyelamatkanku.
Sambil menunggu Rifa Nemo membuat api unggun, entah kenapa dia terus memikirkan Rifa padahal dari awal dia sudah tahu resikonya jika jatuh cinta kepada manusia. “Aku tidak boleh jatuh cinta” Batin Nemo.

Tidak lama kemudian aku kembali dengan membawa 2 ikan yang sangat gemuk. “Nemo !” teriakku sambil mengayunkan itu. Kemudian Nemo berdiri dan menghampiriku “Wah besarnya, bagaimana kami bisa mendapatkannya?” Tanyanya yang heran sekaligus senang. “Sudah jangan banyak tanya ayok kita bakar, malam ini kita makan besar” Ujarku menariknya ke api unggun.

Aku dan Nemo mulai membakar ikan itu, Nemo nampak senang begitupun aku yang bahagia melihatnya suka dengan apa yang aku bawa. Nemo terlihat kegerahan lalu dia mengikat rambutnya keatas dengan daun kelapa sungguh terlihat cantik malam ini. Namun sesuatu yang aneh terlihat, seharusnya dia mempunyai luka di sekitar bahu dan leher belakangnya tapi saatku melihatnya bekasnya pun tidak ada. Aku coba untuk memastikan bahwa aku tidak salah liat, namun sepertinya mata kepalaku benar. Tapi aku bersikap seperti biasa tak menujukan kepadanya bahwa aku mengetahui sesuatu yang aneh.

Aku kembali menikmati membakar ikan bersama Nemo, soal luka sementara aku hiraukan. kita berdua bernyanyi dengan penuh gembira sambil menunggu ikan matang sungguh menyenangkan. “Nemo apa benar kamu tidak punya orang tua?” tanyaku. “Hm, aku tidak mempunyainya, aku sangat iri padamu, kau mempunyai orang tua bahkan mempunyai nama sejak kau lahir” 

jawabnya iri. “Aku memang mempunyai seorang Ibu, tapi aku membencinya” jawabku terbawa emosi. “Kenapa kamu bisa membencinya? Kamu harus bersyukur masih punya orang tua tidak seperti aku, membayangkanya saja aku tidak pernah” Jawabnya bijak. “Memangnya orang tua kamu meninggal atau bagaimana?” tanyaku heran. “Tidak tahu”jawabnya pelan. Aku tidak berniat membuatnya sedih, mendengar dia berbicara seperti itu aku mulai merindukan Ibuku, mungkin dia sangat khawatir padaku karena aku tak bisa menjawab telponnya dan entah bagaimana nasib ibuku jika aku benar benar tidak bisa keluar dari pulau ini, ibu sudah menderita di tinggalkan ayah sejakku lahir dan sekarang mungkin aku bisa membuatnya benar benar sangat menderita. “Sudah ayok kita makan, sepertinya sudah matang” ujarku mengalihkan suasana.

Kami berdua memakannya dengan lahap terutama Nemo, mungkin karena dua hari ini bersamaku dia hanya memakan buah buahan. Aku senang melihatnya seperti itu. Setelah makan aku menyuruhnya untuk tidur di gubuk karena malam sudah semakin larut dan aku juga merebahkan tubuhku karena besok aku harus menyelesaikan perahu itu.

Terpikir kembali mengenai luka yang tiba tiba hilang di tubuh Nemo, padahal saatku menggendongnya aku melihat jelas ada luka di tubuhnya dan aku sempat memeriksanya saat dia pingsan, mana mungkin bisa luka itu menghilang secepat itu dan tanpa berbekas pula, sebenarnya Nemo itu siapa?. Pertanyaan bodoh dalam benakku, aku tidak mau memikirkan apa apa lagi. Ku coba pejamkan mata ini, entah kenapa malam ini aku sedikit merindukan ibu.


Total Tayangan Halaman

Blogroll

Back to Top

Popular Posts