Sabtu, 19 Maret 2016




LOVE PHOBIA
Chapter 2
Penulis : Angga Setiawan

Kepalaku begitu pusing perlahan lahan aku mulai membuka kelopak mataku, dalam hatiku berkata “aku berada dimana?” langit langit seperti tumpukan jerami kering dan alasku tikar yang terbuat dari daun kelapa. Akupun berusaha bangun, badanku serasa sakit semua namun aku mencoba keluar dari gubuk ini.

Saatku keluar dari gubuk itu terlihat pantai pasir putih terpampang luas, laut biru yang begitu indah  memperlihatkan air yang menari nari menabrak karang karang besar di dekatnya. Namun aku heran kenapa tidak ada satupun orang terlihat disini, aku mulai melihat lihat sekitar, pohon pohon yang begitu besar tepat di belakangku aku tidak tahu sedang dimana, ini seperti pulau kosong tanpa penghuni. “apa mungkin hanya aku yang berada di pulau ini” ujar batinkun yang tak menentu.
Kupaksakan kaki untuk melangkah, mencari cari sesuatu yang tak bisa di cari, melangkahkan kaki namun tak tahu hendak kemana. Aku mulai memasuki hutan itu, kesunyian begitu terasa “apakah aku bisa menemukan sesuatu untuk di makan?” ujarku menahan perut yang sudah keroncongan, belum jauh aku berjalan terlihat banyak sekali bebuahan yang nampak sudah matang tanpa pikir panjang aku mendekati pepohonan itu, satu persatu buah aku petik sengaja aku hanya mengambil buah apel walaupun pepaya, pisang dll terlihat begitu enak. Walaupun ku berpikir hanya aku yang berada di pulau ini tapi memikirkan bagaimana pohon pohon itu bisa tumbuh subur disini seperti telah ada yang menanam dan merawatnya.

Setelah perutku terisi aku memutuskan untuk kembali kegubuk tadi, baru terpikir olehku mungkin ada seseorang disini mana mungkin bisa ada gubuk di pulau sepi seperti ini, pasti ada orang yang membuatnya dan menurutku orang itulah yang telah menyelamatkanku.
Saat sampai di gubuk ternyata benar ada seseorang di dalam gubuk itu, terlihat seorang perempuan berambut panjang mengenakan gaun berwarna putih nampak seperti malaikat.
permisi?” ujarku. Dia mulai menoleh kearahku “kamu? Apa kamu baik baik saja?” ujarnya pelan yang berlanjut menanyakan keadaanku. “ah iya, aku baik baik saja. Oh nama kamu siapa? Kenapa kita bisa berada disini?” jawabku sambil menanyakan. “aku tidak punya nama” ujarnya polos “tadi malam aku menemukanmu terdampar di pantai, jadi aku membawamu kemari.” Ujarnya melanjutkan.

 Rasanya aneh, aku baru menemukan orang seperti dia, tidak punya nama apakah itu masuk akal? Banyak sekali hal yang ingin saya tanyakan kepadanya. “apa mungkin dia gandis waktu itu? Aku tidak sempat melihat wajahnya saat peristiwa itu” batinku.
Terimakasih ya sudah menyelamatkan saya” ujarku yang terus menatap kearahnya. Dia hanya menganggukan kepala sambil tersenyum.

Sejak kejadian itu aku mulai akrab dengannya,walaupun dia tidak menceritakan dari mana asal usulnya tapi aku percaya bahwa dia bukanlah orang jahat. Tingkahnya yang polos, lucu sekaligus tak pernah marah saatku isengi membuatku merasa senang.
Hari semakin sore, aku sengaja memetik buah agak banyak untuk makan malamku bersamanya. Hatiku senang, walaupun aku tak tahu sedang berada dimana bersamanya membuat hal itu sedikit tidak menyedihkan, setidaknya aku tidak akan mati sendirian di pulau ini.

Saatku kembali ke gubuk itu, terlihat dia sedang duduk di depan api unggun. Aku menghampirinya dengan kebingungan.
 
Bagaimana kamu bisa membuat api?” tanyaku heran tepat dibelakangnya. Dia berdiri dan menoleh kearahku “oh, itu bukanlah hal sulit, aku menggunakan ini” jawabnya sambil memperlihatkan dua buah batu. “benarkah?” aku tersenyum kepadanya “ini! Aku sengaja memetiknya agak banyak kamu sudah laperkan” ujarku memperlihatkan beberapa buah. “ah.. iya perutku sudah kelaparan” ujarnya.

Dengan api ini setidaknya kami tidak akan kedinginan malam ini, terlintas dalam pikiranku “apa mungkin aku harus memberinya sebuah nama? Dia nampak normal bahkan mengetahui hal hal seperti ini yang bahkan aku saja tidak kepikiran tapi kenapa nama saja dia tidak punya? Apa mungkin dia sedang mempermaikanku? Ah sepertinya tidak. Dia hanya memerlukan sebuah nama agar aku bisa memanggilnya” batinku melihat dia yang sedang melahap buah.

Aku mendekat kearahnya lalu duduk di sampingnya, “namaku Rifa, maaf belum sempat memberitahumu” ucapku yang berlawan arah dengan tatapannya “Rifa? Oh jadi kamu sudah mendapatkan sebuah nama” Ujarnya datar. “Aku tidak mendapatkannya, nama ini pemberian orang tuaku jadi aku memilikinya sejak aku lahir” Ujarku mencoba memberitahunya. Dia memeluk erat lututnya sambil memegang kayu kecil yang terus dia putar di pasir seperti sedang menggambar sesuatu. “kamu berasal dari mana? Lalu orang tuamu?” tanyaku yang mencoba membuka pertanyaan “aku tidak punya orang tua dan aku berasal dari sana” ujarnya sambil menunjuk kearah langit. Aku terdiam sejenak dan sedikit bingung dengan tingkahnya kali ini, apa mungkin dia stres? “apa? Jadi kamu itu sejenis dengan burung atau semacamnya, coba terbang, ayo terbang tangkap aku kalau bisa” ujarku tertawa lepas dan mencoba lari darinya. Dia mengejarku, kulihat dia tersenyum. Aku berhenti tepat di hadapannya saat dia hendak menangkapku “Ingat, mulai sekarang namamu Nemo, iya aku akan memanggilmu Nemo jadi kamu harus menjawab saatku memanggil namamu” ujarku sambil tersenyum. “Benarkah? Jadi sekarang aku punya nama, Nemo? Aku menyukai nama itu” jawabnya kegirangan. Aku senang dia menyukai nama itu..
Malam semakin larut, aku menyuruh Nemo untuk tidur di dalam gubuk itu. Dengan alas tikar daun kelapa aku merebah tubuh di dekat api unggun. Melihat kearah langit dengan bintang indah bertaburan menghiasi langit. Aku tertidur pulas malam ini tanpa rasa kegelisahan.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Recent Posts

Blogroll

Back to Top

Popular Posts