Chapter 2
Penulis : Angga Setiawan
Kepalaku begitu pusing perlahan lahan aku mulai
membuka kelopak mataku, dalam hatiku berkata “aku berada dimana?” langit langit seperti
tumpukan jerami kering dan alasku tikar yang terbuat dari daun kelapa. Akupun
berusaha bangun, badanku serasa sakit semua namun aku mencoba keluar dari gubuk
ini.
Saatku keluar dari gubuk itu terlihat pantai pasir
putih terpampang luas, laut biru yang begitu indah memperlihatkan air yang menari nari menabrak
karang karang besar di dekatnya. Namun aku heran kenapa tidak ada satupun orang
terlihat disini, aku mulai melihat lihat sekitar, pohon pohon yang begitu besar
tepat di belakangku aku tidak tahu sedang dimana, ini seperti pulau kosong
tanpa penghuni. “apa mungkin hanya aku yang berada di pulau ini”
ujar batinkun yang tak menentu.
Kupaksakan kaki untuk melangkah, mencari cari
sesuatu yang tak bisa di cari, melangkahkan kaki namun tak tahu hendak kemana.
Aku mulai memasuki hutan itu, kesunyian begitu terasa “apakah aku bisa menemukan
sesuatu untuk di makan?” ujarku menahan perut yang sudah
keroncongan, belum jauh aku berjalan terlihat banyak sekali bebuahan yang
nampak sudah matang tanpa pikir panjang aku mendekati pepohonan itu, satu
persatu buah aku petik sengaja aku hanya mengambil buah apel walaupun pepaya,
pisang dll terlihat begitu enak. Walaupun ku berpikir hanya aku yang berada di
pulau ini tapi memikirkan bagaimana pohon pohon itu bisa tumbuh subur disini
seperti telah ada yang menanam dan merawatnya.
Setelah perutku terisi aku memutuskan untuk kembali
kegubuk tadi, baru terpikir olehku mungkin ada seseorang disini mana mungkin
bisa ada gubuk di pulau sepi seperti ini, pasti ada orang yang membuatnya dan
menurutku orang itulah yang telah menyelamatkanku.
Saat sampai di gubuk ternyata benar ada seseorang di
dalam gubuk itu, terlihat seorang perempuan berambut panjang mengenakan gaun
berwarna putih nampak seperti malaikat.
“permisi?” ujarku. Dia mulai menoleh
kearahku “kamu?
Apa kamu baik baik saja?” ujarnya pelan yang berlanjut
menanyakan keadaanku. “ah iya, aku baik baik saja. Oh nama kamu siapa? Kenapa kita
bisa berada disini?” jawabku sambil menanyakan. “aku tidak punya nama”
ujarnya polos “tadi malam aku menemukanmu terdampar di pantai, jadi aku
membawamu kemari.” Ujarnya melanjutkan.
Rasanya aneh,
aku baru menemukan orang seperti dia, tidak punya nama apakah itu masuk akal?
Banyak sekali hal yang ingin saya tanyakan kepadanya. “apa mungkin dia gandis
waktu itu? Aku tidak sempat melihat wajahnya saat peristiwa itu”
batinku.
“Terimakasih ya sudah menyelamatkan saya”
ujarku yang terus menatap kearahnya. Dia hanya menganggukan kepala sambil
tersenyum.
Sejak kejadian itu aku mulai akrab
dengannya,walaupun dia tidak menceritakan dari mana asal usulnya tapi aku
percaya bahwa dia bukanlah orang jahat. Tingkahnya yang polos, lucu sekaligus
tak pernah marah saatku isengi membuatku merasa senang.
Hari semakin sore, aku sengaja memetik buah agak
banyak untuk makan malamku bersamanya. Hatiku senang, walaupun aku tak tahu
sedang berada dimana bersamanya membuat hal itu sedikit tidak menyedihkan,
setidaknya aku tidak akan mati sendirian di pulau ini.
“Bagaimana kamu bisa membuat api?”
tanyaku heran tepat dibelakangnya. Dia berdiri dan menoleh kearahku “oh, itu bukanlah hal sulit,
aku menggunakan ini” jawabnya sambil memperlihatkan dua
buah batu. “benarkah?” aku tersenyum
kepadanya “ini!
Aku sengaja memetiknya agak banyak kamu sudah laperkan”
ujarku memperlihatkan beberapa buah. “ah.. iya perutku sudah kelaparan”
ujarnya.
Dengan api ini setidaknya kami tidak akan kedinginan
malam ini, terlintas dalam pikiranku “apa mungkin aku harus memberinya sebuah nama? Dia nampak
normal bahkan mengetahui hal hal seperti ini yang bahkan aku saja tidak
kepikiran tapi kenapa nama saja dia tidak punya? Apa mungkin dia sedang
mempermaikanku? Ah sepertinya tidak. Dia hanya memerlukan sebuah nama agar aku
bisa memanggilnya” batinku melihat dia yang sedang
melahap buah.
Aku mendekat kearahnya lalu duduk di sampingnya, “namaku Rifa, maaf belum
sempat memberitahumu” ucapku yang berlawan arah dengan
tatapannya “Rifa? Oh jadi kamu sudah mendapatkan sebuah nama”
Ujarnya datar. “Aku tidak mendapatkannya, nama ini pemberian orang tuaku
jadi aku memilikinya sejak aku lahir” Ujarku mencoba
memberitahunya. Dia memeluk erat lututnya sambil memegang kayu kecil yang terus
dia putar di pasir seperti sedang menggambar sesuatu. “kamu berasal dari mana?
Lalu orang tuamu?” tanyaku yang mencoba membuka pertanyaan
“aku
tidak punya orang tua dan aku berasal dari sana”
ujarnya sambil menunjuk kearah langit. Aku terdiam sejenak dan sedikit bingung
dengan tingkahnya kali ini, apa mungkin dia stres? “apa? Jadi kamu itu sejenis dengan burung atau semacamnya, coba
terbang, ayo terbang tangkap aku kalau bisa” ujarku tertawa
lepas dan mencoba lari darinya. Dia mengejarku, kulihat dia tersenyum. Aku
berhenti tepat di hadapannya saat dia hendak menangkapku “Ingat, mulai sekarang
namamu Nemo, iya aku akan memanggilmu Nemo jadi kamu harus menjawab saatku
memanggil namamu” ujarku sambil tersenyum. “Benarkah? Jadi sekarang aku
punya nama, Nemo? Aku menyukai nama itu” jawabnya kegirangan.
Aku senang dia menyukai nama itu..
Malam semakin larut, aku menyuruh Nemo untuk tidur
di dalam gubuk itu. Dengan alas tikar daun kelapa aku merebah tubuh di dekat
api unggun. Melihat kearah langit dengan bintang indah bertaburan menghiasi
langit. Aku tertidur pulas malam ini tanpa rasa kegelisahan.
0 komentar:
Posting Komentar