Sabtu, 19 Maret 2016




LOVE PHOBIA
Chapter 4
Penulis : Angga Setiawan 

 Nemo, apa kamu bisa mengajariku bagaimana cara membuat api?” tanyaku melihat Nemo di sampingku yang terus memandangi laut. “Oh, tentu saja ayok kita lakukan” Jawabnya mengubah pandangannya kearahku.

Ternyata sulit bagiku untuk melakukannya, terpaksa aku menyuruhnya untuk membuat api unggun karena ada hal yang harus ku lakukan. “Tolong buat apinya ya, ada sesuatu yang harus kulakukan” ujarku kepadanya. “Mau kemana? Inikan sudah hampir malam? Boleh aku ikut?” jawabnya sekaligus meminta. “Tidak perlu, aku tidak akan lama kok Cuma sebentar, yasudah aku pergi dulu ya” Ujarku meninggalkannya. “Iya, Rifa hati hati” Teriaknya. Lagi lagi membuatku tersenyum akan tingkahnya yang menggemaskan.

Aku masuk kedalam hutan, karena saat mencari dedauan untuk Nemo tadi, aku melihat ada beberapa ikan di sekitar sini, aku ingin membawakannya untuk Nemo karena sudah menyelamatkanku.
Sambil menunggu Rifa Nemo membuat api unggun, entah kenapa dia terus memikirkan Rifa padahal dari awal dia sudah tahu resikonya jika jatuh cinta kepada manusia. “Aku tidak boleh jatuh cinta” Batin Nemo.

Tidak lama kemudian aku kembali dengan membawa 2 ikan yang sangat gemuk. “Nemo !” teriakku sambil mengayunkan itu. Kemudian Nemo berdiri dan menghampiriku “Wah besarnya, bagaimana kami bisa mendapatkannya?” Tanyanya yang heran sekaligus senang. “Sudah jangan banyak tanya ayok kita bakar, malam ini kita makan besar” Ujarku menariknya ke api unggun.

Aku dan Nemo mulai membakar ikan itu, Nemo nampak senang begitupun aku yang bahagia melihatnya suka dengan apa yang aku bawa. Nemo terlihat kegerahan lalu dia mengikat rambutnya keatas dengan daun kelapa sungguh terlihat cantik malam ini. Namun sesuatu yang aneh terlihat, seharusnya dia mempunyai luka di sekitar bahu dan leher belakangnya tapi saatku melihatnya bekasnya pun tidak ada. Aku coba untuk memastikan bahwa aku tidak salah liat, namun sepertinya mata kepalaku benar. Tapi aku bersikap seperti biasa tak menujukan kepadanya bahwa aku mengetahui sesuatu yang aneh.

Aku kembali menikmati membakar ikan bersama Nemo, soal luka sementara aku hiraukan. kita berdua bernyanyi dengan penuh gembira sambil menunggu ikan matang sungguh menyenangkan. “Nemo apa benar kamu tidak punya orang tua?” tanyaku. “Hm, aku tidak mempunyainya, aku sangat iri padamu, kau mempunyai orang tua bahkan mempunyai nama sejak kau lahir” 

jawabnya iri. “Aku memang mempunyai seorang Ibu, tapi aku membencinya” jawabku terbawa emosi. “Kenapa kamu bisa membencinya? Kamu harus bersyukur masih punya orang tua tidak seperti aku, membayangkanya saja aku tidak pernah” Jawabnya bijak. “Memangnya orang tua kamu meninggal atau bagaimana?” tanyaku heran. “Tidak tahu”jawabnya pelan. Aku tidak berniat membuatnya sedih, mendengar dia berbicara seperti itu aku mulai merindukan Ibuku, mungkin dia sangat khawatir padaku karena aku tak bisa menjawab telponnya dan entah bagaimana nasib ibuku jika aku benar benar tidak bisa keluar dari pulau ini, ibu sudah menderita di tinggalkan ayah sejakku lahir dan sekarang mungkin aku bisa membuatnya benar benar sangat menderita. “Sudah ayok kita makan, sepertinya sudah matang” ujarku mengalihkan suasana.

Kami berdua memakannya dengan lahap terutama Nemo, mungkin karena dua hari ini bersamaku dia hanya memakan buah buahan. Aku senang melihatnya seperti itu. Setelah makan aku menyuruhnya untuk tidur di gubuk karena malam sudah semakin larut dan aku juga merebahkan tubuhku karena besok aku harus menyelesaikan perahu itu.

Terpikir kembali mengenai luka yang tiba tiba hilang di tubuh Nemo, padahal saatku menggendongnya aku melihat jelas ada luka di tubuhnya dan aku sempat memeriksanya saat dia pingsan, mana mungkin bisa luka itu menghilang secepat itu dan tanpa berbekas pula, sebenarnya Nemo itu siapa?. Pertanyaan bodoh dalam benakku, aku tidak mau memikirkan apa apa lagi. Ku coba pejamkan mata ini, entah kenapa malam ini aku sedikit merindukan ibu.


0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Recent Posts

Blogroll

Back to Top

Popular Posts