LOVE PHOBIA
Chapter 4
Penulis : Angga Setiawan
“Nemo, apa kamu bisa
mengajariku bagaimana cara membuat api?” tanyaku melihat Nemo
di sampingku yang terus memandangi laut. “Oh, tentu saja ayok kita lakukan”
Jawabnya mengubah pandangannya kearahku.
Ternyata sulit bagiku untuk melakukannya, terpaksa
aku menyuruhnya untuk membuat api unggun karena ada hal yang harus ku lakukan.
“Tolong
buat apinya ya, ada sesuatu yang harus kulakukan”
ujarku kepadanya. “Mau kemana? Inikan sudah hampir malam? Boleh aku ikut?”
jawabnya sekaligus meminta. “Tidak perlu, aku tidak akan lama kok Cuma sebentar, yasudah
aku pergi dulu ya” Ujarku meninggalkannya. “Iya, Rifa hati hati”
Teriaknya. Lagi lagi membuatku tersenyum akan tingkahnya yang menggemaskan.
Sambil menunggu Rifa Nemo membuat api unggun, entah
kenapa dia terus memikirkan Rifa padahal dari awal dia sudah tahu resikonya
jika jatuh cinta kepada manusia. “Aku tidak boleh jatuh cinta” Batin Nemo.
Tidak lama kemudian aku kembali dengan membawa 2
ikan yang sangat gemuk. “Nemo !” teriakku sambil mengayunkan itu.
Kemudian Nemo berdiri dan menghampiriku “Wah besarnya, bagaimana kami bisa mendapatkannya?”
Tanyanya yang heran sekaligus senang. “Sudah jangan banyak tanya ayok kita bakar, malam ini kita
makan besar” Ujarku menariknya ke api unggun.
Aku dan Nemo mulai membakar ikan itu, Nemo nampak
senang begitupun aku yang bahagia melihatnya suka dengan apa yang aku bawa.
Nemo terlihat kegerahan lalu dia mengikat rambutnya keatas dengan daun kelapa
sungguh terlihat cantik malam ini. Namun sesuatu yang aneh terlihat, seharusnya
dia mempunyai luka di sekitar bahu dan leher belakangnya tapi saatku melihatnya
bekasnya pun tidak ada. Aku coba untuk memastikan bahwa aku tidak salah liat,
namun sepertinya mata kepalaku benar. Tapi aku bersikap seperti biasa tak
menujukan kepadanya bahwa aku mengetahui sesuatu yang aneh.
Aku kembali menikmati membakar ikan bersama Nemo,
soal luka sementara aku hiraukan. kita berdua bernyanyi dengan penuh gembira
sambil menunggu ikan matang sungguh menyenangkan. “Nemo apa benar kamu tidak punya orang tua?”
tanyaku. “Hm,
aku tidak mempunyainya, aku sangat iri padamu, kau mempunyai orang tua bahkan
mempunyai nama sejak kau lahir”
jawabnya iri. “Aku memang mempunyai
seorang Ibu, tapi aku membencinya” jawabku terbawa
emosi. “Kenapa
kamu bisa membencinya? Kamu harus bersyukur masih punya orang tua tidak seperti
aku, membayangkanya saja aku tidak pernah” Jawabnya
bijak. “Memangnya
orang tua kamu meninggal atau bagaimana?” tanyaku heran. “Tidak tahu”jawabnya
pelan. Aku tidak berniat membuatnya sedih, mendengar dia berbicara seperti itu
aku mulai merindukan Ibuku, mungkin dia sangat khawatir padaku karena aku tak
bisa menjawab telponnya dan entah bagaimana nasib ibuku jika aku benar benar
tidak bisa keluar dari pulau ini, ibu sudah menderita di tinggalkan ayah
sejakku lahir dan sekarang mungkin aku bisa membuatnya benar benar sangat
menderita. “Sudah ayok kita makan, sepertinya sudah matang”
ujarku mengalihkan suasana.
Kami berdua memakannya dengan lahap terutama Nemo,
mungkin karena dua hari ini bersamaku dia hanya memakan buah buahan. Aku senang
melihatnya seperti itu. Setelah makan aku menyuruhnya untuk tidur di gubuk
karena malam sudah semakin larut dan aku juga merebahkan tubuhku karena besok
aku harus menyelesaikan perahu itu.
Terpikir kembali mengenai luka yang tiba tiba hilang
di tubuh Nemo, padahal saatku menggendongnya aku melihat jelas ada luka di
tubuhnya dan aku sempat memeriksanya saat dia pingsan, mana mungkin bisa luka
itu menghilang secepat itu dan tanpa berbekas pula, sebenarnya Nemo itu siapa?.
Pertanyaan bodoh dalam benakku, aku tidak mau memikirkan apa apa lagi. Ku coba
pejamkan mata ini, entah kenapa malam ini aku sedikit merindukan ibu.
0 komentar:
Posting Komentar